Beranda | Artikel
Thibbun Nabawi Mubah Atau Sunnah?
Rabu, 5 Maret 2014

Selama ini banyak yang mengetahui bahwa thibbun nabawi hukumnya adalah sunnah, bahkan ada sebagian kecil orang yang terlalu berlebihan dan menganggap bahwa  thibbun nabawi adalah keharusan yang mutlak, jika tidak melakukannya dan menjadikan sebagai pilihan pertama maka keimanannya dipertanyakan.

Berikut penjelasan bahwa ternyata hukum thibbun nabawi diperselisihkan oleh ulama. Ada yang bependapat hukumnya mubah (bukan sunnah) dan ada yang bependapat hukumnya adalah sunnah. Peselisihan ini bisa jadi karena perbedaan dalam ushul fikh mengenai apakah thibbun nabawi semisal bekam itu adalah perbuatan adat (tradisi saat itu) semata atau memang ada pensyariatannya. Dalam hal ini kita ambil pendapat para ulama mengenai bekam/hijamah. Apakah ia sunnah atau mubah.

 

Pendapat yang menyatakan mubah.

Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

إن الحجامة داوء لا سنة

“Hijamah (bekam) adalah pengobatan, bukan sunnah”[1]

Dalam kesempatan lain beliau berkata,

فأكل العسل مثلاً حث عليه الشارع الحكيم حين قال فيه شفاء للناس والرسول صلى الله عليه وسلم أيضاً كان يحب العسل ولكن هل نتقرب الى الله بشرب العسل ! لا طبعاً
فالذي يقول أن الحجامة سنه (عبادة ) نسأله هل كان الرسول صلى الله عليه وسلم يتقرب إلى الله عز وجل بالحجامة وما الدليل من قوله صلى الله عليه وسلم

 “meminum madu –misalnya- syariat menganjurkan diminum karena ada firman Allah “sebagai penyembuh bagi manusia” dan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai madu akan tetapi apakah kita ber-taqarrub (beribadah) kepada Allah dengan meminum madu? Tentu tidak.

Demikian juga bagi yang mengatakan bahwa bekam adalah sunnah (ibadah), kita tanyakan apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-taqarrub (beribadah) kepada Allah dengan berbekam, apa dalilnya dari perkataan shallallahu ‘alaihi wa sallam?[2]

syaikh abdul Muhsin Al-Badr berkata, mejelaskan

وقد جاء في الحديث ما يتعلق بالعسل والحجامة، وكذلك الكي، وأنه يكون فيها شفاء بإذن الله عز وجل، فهذا فيه إرشاد إلى الحجامة لمن احتاج إليها علاجاً، ولكن لا يقال: إنها سنة وإن الإنسان يحتجم ولو لم يكن بحاجة إلى الحجامة.فهذا علاج وتداوٍ، والتداوي يصار إليه عند الحاجة، ولا يتداوى من غير حاجة، فالذي يحتاج إلى الحجامة يحتجم، والذي لا حاجة له إلى الحجامة فليحمد الله على العافية

“terdapat hadits yang berkaitan dengan madu dan bekam, demikian juga kay. Padanya terdapat kesembuhan dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Ini adalah petunjuk untuk berbekam bagi mereka yang menginginkan kesembuhan. Akan tetapi tidak kita katakan bahwa bekam itu sunnah. Karena manusia berbekam (untuk kesegaran) walapun tidak membutuhkan bekam (ketika sakit), maka ini termasuk pengobatan.”[3]

Syaikh Muhammad Shalih Al Fauzan hafidzahullah berkata,

الحجامة مباحة, فهي علاج مباح لا يقال إنه سنة وأن الذي لا يتحجم تارك للسنة . . لا. هذا من المباحات والعلاج والأدعية من الأمور المباحات.

Bekam adalah perkara mubah. Ia termasuk pengobatan yang mubah. Tidak dikatakan bahwa ia sunnah, sehingga orang yang tidak melakukan bekam berarti telah meninggalkan sunnah. Tidak dikatakan demikian. Bekam termasuk perkara mubah. Dan pengobatan termasuk salah satu dari perkara mubah.[4]

 

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Ar Rajihi hafidzahullah ditanya :

السؤال: ما هي الطريقة الصحيحة التي كان يفعلها رسول الله صلى الله عليه وسلم في الحجامة؟

Bagaimana metode yang benar yang dilakukan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bekam ?

Beliau hafidzahullah menjawab :

الجواب: الحجامة دواء، كان النبي يستعملها للعلاج، كان يحتجم في رأسه عليه الصلاة والسلام، وهذه تختلف ولا يقتدى بالنبي فيها؛ لأن هذا من باب العلاج، فالإنسان يذهب إلى أهل الخبرة، ولا يحتكم إلا عند الحاكم؛ لأنه قد تضر الحجامة، وإذا كان محتاجاً إلى الحجامة يحتجم سواءً في الرأس أو في غيره، وهذا ليس من التشريع حتى يقتدى بالنبي صلى الله عليه وسلم، احتجم عليه الصلاة والسلام من باب العلاج وليس من باب التشريع، فكيف تسأل عن هذا وتريد أن تقتدي به في الحجامة؟ لا؛ لأن الأحوال تختلف، إذا كنت محتاجاً إلى الحجامة، وقال أهل الخبرة: إنك محتاج إلى أن تحتجم، سواءً في الرأس أو في الظهر، أو في الفخذ أو في أي مكان فعلى حسب ما يقوله أهل الخبرة.

Bekam adalah pengobatan. Nabi dulu melakukan bekam untuk pengobatan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan bekam pada kepala beliau. Maka perkara bekam ini berbeda-beda dan tidak disyariatkan meneladani Nabi dalam perkara ini, karena bekam masuk dalam pengobatan.

Hendaknya seseorang datang kepada ahli bekam, dan jangan meminta hukum kecuali kepada ahlinya, karena boleh jadi bekam malah membahayakan. Jika dia memerlukan untuk bekam maka bisa bekam, baik pada kepala atau bagian tubuh lainnya.

Maka bekam bukanlah perkara yang disyariatkan, sehingga dianjurkan untuk mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara ini. Beliau melakukan bekam dalam rangka pengobatan, bukan dalam rangka mensyariatkan.

Maka bagaimana Engkau bertanya tentang perkara ini dan Engkau ingin meneladani Nabi dalam masalah bekam ? Tidak, keadaan seseorang itu berbeda-beda. Jika Engkau membutuhkan bekam dan ahli bekam berkata : Engkau butuh melakukan bekam, (maka boleh bekam) Sama saja di kepala, punggung, paha atau tempat lainnya sesuai dengan yang dikatakan orang yang sudah berpengalaman.[5]

 

Pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdurrahman bin Nashir al Barrak,

السائل يقول: الحجامة هل هي سنة؟

Apakah bekam itu termasuk sunnah?

Jawaban:

Bekam adalah salah satu metode pengobatan, terapi penyakit sehingga dia tergolong perkara adat kebiasaan, bukan perkara ibadah. Perkara yang bukan ibadah yang Nabi lakukan itu menunjukkan bolehnya hal tersebut. Sehingga kesimpulannya, bekam itu hanya kita nilai hanya sebagai perkara mubah.[6]

 

Pendapat yang menyatakan sunnah jika dibutuhkan (jika sakit)

Dalam fatwa syabakah Islamiyah,

وقد نص الفقهاء على أن الحجامة سنة مستحبة لمن احتاج إليها، ففي الشرح الصغير: وتجوز الحجامة بمعنى تستحب عند الحاجة اليها وقد تجب.

“ulama menegaskan bahwa bekam adalah sunnah yang dianjurkan ketika ada kebutuhan padanya (misalnya sakit). Maka boleh berbekam, maknanya dianjurkan ketika ada kebutuhan, bahkan bisa terkadang wajib”[7]

Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini ditanya,

السؤال: ما الدليل على أن الحجامة سنة وليست عادة؟

“apa dalil bahwa bekam adalah sunnah bukan perkara adat (kebiasaan)?

Beliau menjawab:

الإجابة: الدليل على سنية الحجامة حضُّ النبي صلى الله عليه وسلم على تعاطيها في أحاديث كثيرة منها: “إن كان في أدويتكم شفاء ففي شرطة محجم، أو شربة عسل، أو لذعة نار وأنهى أمتي عن الكي”. وأيضاً الأحاديث التي وقَّت رسول الله صلى الله عليه وسلم للمسلم أن يحتجم فيها، مع أحاديث أخرى كثيرة فكل ذلك يدل على السنية

“dalil akan sunnahnya berbekam adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan pelaksanannya dalam beberapa hadits: “Apabila ada kebaikan dalam pengobatan yang kalian lakukan, maka kebaikan itu ada pada berbekam, minum madu, dan sengatan api panas (terapi dengan menempelkan besi panas di daerah yang luka) dan aku melarang ummatku melakukan kay.

Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menentukan waktu untuk berbekam. Dengan banyaknya hadits yang lain, maka ini menunjukkan sunnahnya berbekam.”[8]

 

Perkara mubah bisa menjadi ibadah

Terlepas dari ikhtilaf ulama menghukumi, apakah mubah atau sunnah. Maka seandainya kita ambil mubah, maka ia bisa menjadi bernilai pahala karena perkara mubah bisa menjadi pahala sesuai dengan niat atau ia menjadi wasilah untuk ketaatan. Misalnya berbekam agar sembuh sehingga bisa melaksanakan perintah Allah baik hal yang sunnah atau wajib. Sebagaimana tidur yang hukumnya mubah tetapi bisa berpahala.
Mu’aadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata,

أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ وَأَقُومُ وَأَرْجُو فِي نَوْمَتِي مَا أَرْجُو فِي قَوْمَتِي.

“Adapun aku, maka aku tidur dan sholat malam, dan aku berharap pahala dari tidurku sebagaimana pahala yang aku harapkan dari sholat malamku”[9]
Ataupun bisa menjadi berpahala karena kita cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya mendengar hadits beliau berbekam, kita juga berbekam. Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad, beliau mengetahui ada hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallami pernah berbekam dan membayar upah satu dinar. Maka beliaupun melakukan hal yang sama. Beliau berkata, “Tidaklah aku menulis suatu hadits melainkan aku telah mengamalkannya, sehingga suatu ketika aku mendengar hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hijamah (bekam) dan memeberikan upah kepada ahli bekam (Abu Thaybah) satu dinar, maka aku melakukan hijamah dan memberikan kepada ahli bekam satu dinar pula”[10]

 

Demikian yang bisa kami bahas, semoga bermanfaat

 

@Perpus FK UGM, Yogyakarta Tercinta

Penyusun:  dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan   follow twitter

 


[1] Syarh Shahih Bukhari, sumber: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=10279

[2]Sumber:  http://www.uaetd.com/vb/showthread.php?t=13624&page=59

[3] syarh sunan abu Dawud, sumber: http://audio.islamweb.net/audio/Fulltxt.php?audioid=171819

[4] Sumber : مجلة الفرقان, العدد 467- الإثنين 9 ذو القعدة 1428 ه

http://abukarimah.wordpress.com/2012/04/21/hukum-bekam/

[5] Sumber : http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=191546

[6] Sumber: http://www.islamlight.net/albarrak/sounds/save/tagryrat/a131.rm

[7]Sumber:  http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=28338

[8] Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/8238

[9] HR Al-Bukhari no 6923 dan Muslim no 1733

[10] Ibnul Jauzi menyebutkannya dalam Manaqib Ahmad, hal : 232

 


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/thibbun-nabawi-mubah-atau-sunnah.html